Hari ini, di dua desa kecil di Kecamatan Tomoni Timur, ada gerakan sunyi yang menyimpan gema besar. Desa Purwosari dan Desa Pattengko resmi membentuk PATBM, Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat. Bukan seremoni. Bukan basa basi. Ini adalah wujud komitmen. Komitmen untuk tidak membiarkan satu pun anak tumbuh dalam ketakutan.
Empat desa kini sudah bergerak. Dua sebelumnya, Margomulyo dan Kertoraharjo, lebih dulu memulai. Dua lainnya baru saja menyusul. Mungkin tampak kecil. Tapi bagi anak-anak, ini bisa jadi penyelamat hidup.

Karena perlindungan anak tidak bisa ditunda. Tidak bisa menunggu laporan. Tidak bisa menunggu luka membekas. Harus dimulai sekarang, di komunitas terkecil. Di desa. Di rumah. Di pelukan ibu dan dalam dekapan komunitas yang peduli.
Pembentukan PATBM diawali dengan sosialisasi. Hadir perwakilan dari Save the Children, Witrijani, dan Sulawesi Cipta Forum, Rosiana Amin. Mereka tidak hanya bicara soal data dan kebijakan. Mereka bicara tentang luka yang tak terlihat, tentang trauma yang tak terdengar, tentang anak-anak yang sering kali tidak punya tempat untuk mengadu.
PATBM hadir untuk dua hal penting: mencegah dan menangani kekerasan anak. Mencegah agar anak-anak tahu bahwa tubuh dan jiwa mereka berharga. Menangani agar saat ada luka, ada yang datang, bukan untuk menghakimi, tapi untuk melindungi.
Rosiana menjelaskan, dalam PATBM ada tiga divisi. Pencegahan dan Advokasi, agar kampanye tentang hak anak tak berhenti di kota. Pelaporan dan Identifikasi Kasus, agar kekerasan tidak lagi disembunyikan. Dan Pendampingan Anak dan Keluarga, agar setiap luka punya ruang untuk pulih.
Desa Purwosari menyambut inisiatif ini dengan sikap tegas. Kepala Desa Lagiyo menyatakan bahwa sebagai desa sadar hukum, mereka tidak bisa menutup mata. Karena keadilan bukan hanya soal pengadilan, tapi tentang rasa aman yang dimulai dari lingkungan sekitar.
Dari Desa Pattengko, Kepala Desa Pither Tandi Kala bicara tentang pentingnya langkah antisipatif. Tentang pentingnya tidak menunggu bencana untuk membangun perlindungan. Ia tahu bahwa mencegah selalu lebih bijak daripada menangisi keterlambatan.
Camat Tomoni Timur, yang turut hadir bersama Sekdis Bapperida, jajaran Dinas Sosial dan Dinas P3A, memberikan pengingat yang menusuk. Bahwa mungkin saja kekerasan sudah terjadi, tapi suara korban terlalu lirih untuk sampai ke telinga kita. PATBM, katanya, harus menjadi tempat aman. Tempat yang tak sekadar mendengar, tapi juga merangkul.
Karena pada akhirnya, kekerasan terhadap anak bukan hanya soal fisik yang lebam. Tapi tentang mimpi yang patah. Tentang kepercayaan yang hancur. Tentang generasi yang tumbuh dalam sunyi.
Dan PATBM adalah janji. Janji bahwa kita tidak akan tinggal diam. Bahwa kita memilih berdiri di sisi anak-anak. Karena mereka bukan sekadar masa depan, mereka adalah sekarang. Dan sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk melindungi. Bukan nanti. Bukan besok. Tapi hari ini. Di desa-desa kecil. Di Tomoni Timur. Di hati kita semua.(#)
@yul.lutim
#CamatTomoniTimur