Jumat siang, 22 Agustus. Langit Cendana Hitam Timur tampak teduh. Udara di Dusun Marampa seolah ikut berduka. Saya hadir di sebuah ibadah pelepasan jenazah. Seorang anak laki-laki, masih begitu belia, dipanggil pulang sang khalik . Namanya Defaldo Christian Sewa. Teman-temannya memanggilnya Defa.
Saya datang bersama Kapolsek Tomoni Timur, Jefir Alang Ramba. Ibadah dipimpin Pendeta Matius Maripi, S.Th. Jemaat penuh sesak. Ada pelayat dari Tomoni Timur. Ada juga yang datang jauh-jauh dari luar daerah. Bahkan para pengasuh sekolah Minggu pun hadir. Semua larut dalam duka yang sama.
Lalu sesuatu yang tak biasa terjadi. Di tengah ibadah, seorang anak maju ke depan. berseragam pramuka tapi Berjilbab. Membaca puisi. Suaranya lantang. Menggetarkan. Namanya Salsabila. Murid kelas 4 SD Negeri 182 Bakti Nusa. Tubuhnya mungil. Tapi keberaniannya membuat semua terdiam.

Bait demi bait ia lantunkan. Tentang sahabat. Tentang perpisahan. Tentang persaudaraan. Tentang cinta yang melampaui agama dan suku. Semua yang mendengar, menunduk. Tidak sedikit yang menyeka air mata. Saya pun ikut terharu.
Bayangkan. Yang meninggal, seorang anak Kristen. Yang membacakan puisi perpisahan, seorang Muslimah kecil. Berjilbab. Tanpa canggung. Tanpa jarak. Tanpa sekat.
Itu bukan pemandangan biasa. Dan itu bukan terjadi di kota besar yang sering kita banggakan soal toleransi. Ini di desa. Di Cendana Hitam Timur. Sebuah desa yang mungkin tidak banyak orang tahu di mana letaknya.
Pak Kapolsek yang duduk disamping saya dengan nada setengah berbisik mengatakan " Pemandangan ini mungkin ini hanya ada di Tomoni Timur "
Salsabila mengajarkan kita satu hal penting, bahwa toleransi bukan teori. Bukan seminar. Bukan hanya slogan tertulis di baliho . Toleransi adalah perasaan. Toleransi adalah tindakan kecil, tapi besar maknanya.
Kita sering bangga dengan moderasi beragama. Kita tulis di spanduk. Kita teriakkan di mimbar. Tapi hari itu, di depan jenazah Defaldo, di suara kecil Salsabila, saya melihat moderasi dalam wujud paling indah.
Sebuah pelajaran yang kita orang dewasa sering lupa. Bahwa perbedaan bukan alasan untuk saling menjauh. Justru menjadi alasan untuk saling merangkul.
Dan saya yakin, jika Indonesia ingin tetap berdiri kokoh, kita harus belajar lagi. Belajar dari anak-anak seperti Salsabila. Yang hatinya belum tercemar kebencian. Yang pikirannya belum dikotori oleh politik identitas. Yang hanya tahu satu hal : sahabat adalah sahabat.
Saya menyaksikannya sendiri. Dan saya ingin menulisnya. Supaya kita semua belajar. Bahwa toleransi bukan sekedar diucapkan tapi butuh tindakan nyata.(#)
@yul.lutim
#CamatTomoniTimur
#ToleransiDalamPuisi